MAKALAH TENTANG “PHK (PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA)”
MAKALAH
TENTANG
“PHK
(PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA)”
KELOMPOK
3
FAKHIRAH
UMAR (105721121116)
NURMI NATALIA (10572112
WANDI FATRAH (105721121716)
SITTI NUR QOLBI (105721123216)
SUHAEMI (105721123716)
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
PRODI
MANAJEMEN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada Tahun 1998
Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu terjadi krisis
moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa badan usaha
milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja atau yang
sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu
alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit, sementara
perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya.
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan
suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang
sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan
kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya
kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung
tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang
bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan
giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1. Apa Definisi dari Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
2. Jelaskan Jenis-jenis Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
3. Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
4. Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK ?
1.3
TUJUAN
1. Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
2. Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
3. Mengetahui Mekanisme pemberian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada
karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan
Hubungan Kerja dilakukan.
4. Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan
mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa
terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan
karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif.
Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan Pemutusan Hubungan kerja dapat terjadi
karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Tergantung
alasannya, Pemutusan Hubungan kerja mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI)
mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua Pemutusan Hubungan
kerja yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik
karena tidak perlu ada penetapan, Pemutusan Hubungan kerja tidak berujung
sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
2.1.1 Pengadilan
Hubungan Industrial
Pihak yang
menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di
tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/
kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial, termasuk perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, serta menerima
permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain
mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat
adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat karyawan.
Sebelum Pengadilan Hubungan
Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial
masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha
Negara.
2.2
JENIS - JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
2.2.1
Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi
normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat
membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan
tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya
seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya
tersebut.
Akan tetapi hal
ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja
seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang
mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus
dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan
kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk
memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya
perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih
separuh hidupnya. Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak
nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera
untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah
selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit
lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri.
Karyawan dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis
tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri,
seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain.
Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan
permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c)
tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya
untuk mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang
diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak
sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun
perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain
perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan
harus melakukan Pemutusan Hubungan kerja tanpa ada persetujuan karyawan.
Perusahaan dan karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak
atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta
pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin
mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan
terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah
karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan
penghargaan masa kerja.
2.2.2
Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan
dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat
survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder)
maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan
perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari
perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan
hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi
ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya
mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan
menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi
yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan
pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak
pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan
hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu :
1. Termination: yaitu
putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang
telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan
antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan
pekerjaannya.
2. Dismissal: yaitu
putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin
yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan,
seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan
tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
3. Redundancy, yaitu
pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan
menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot
industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup
dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja.
Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
4. Retrenchment, yaitu
pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti
resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk
memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan
hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
1. Layoff, keputusan ini
akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki
kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak
lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
2. Outplacement, ialah
kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak
tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana
biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi
karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya
telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap
kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari
kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang
skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan
pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
3. Discharge, kegiatan ini
merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara
beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan
berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku
kerja yang memuaskan.
Karyawan yang
mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain. Dari
dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja,
penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab
yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak
memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya
dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu
mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan
kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk
efisiensi tenaga kerja.
2.3 MEKANISME DAN
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Mekanisme perselisihan Pemutusan Hubungan kerja beragam
dan berjenjang.
2.3.1 Mekanisme
Pemutusan Hubungan kerja
Karyawan,
pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari
Pemutusan Hubungan kerja. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha
karyawan/serikatnya, Pemutusan Hubungan kerja hanya dapat dilakukan oleh
pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena
pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, Pemutusan Hubungan kerja
harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial
(LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
1. Karyawan masih
dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis
sebelumnya.
2. Karyawan
mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama
kali.
3. Karyawan
mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
4. Karyawan
meninggal dunia.
5. Karyawan
ditahan.
6. Pengusaha tidak
terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan
Pemutusan Hubungan kerja.
7. Selama belum
ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan
skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.
2.3.2 Perselisihan Pemutusan Hubungan
kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja termasuk kategori
perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan Pemutusan
Hubungan kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan
dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu
pihak. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja antara lain mengenai sah atau
tidaknya alasan Pemutusan Hubungan kerja, dan besaran kompensasi atas Pemutusan
Hubungan kerja.
2.4
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Perundingan
Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau
serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam
penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian
perselisihan.
Dalam
perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi
risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka
Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian
Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat
Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah
untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal
dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi
prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2.4.2 Perundingan
Tripartit
Dalam
pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para
pihak:
Forum Mediasi
difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian
menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta
perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
Forum
Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga
mengeluarkan produk berupa anjuran.
Lain dengan
produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan
arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak
putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya
kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
Pihak yang
menolak Putusan PHI soal Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja dapat langsung
mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah
Agung, untuk diputus.
2.5
KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang
penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya
diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP)
paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
Masa Kerja Uang Pesangon
·
Masa kerja kurang dari 1 tahun,
1 bulan upah.
·
Masa kerja 1 - 2 tahun,
2 bulan upah.
·
Masa kerja 2 - 3 tahun,
3 bulan upah.
·
Masa kerja 3 - 4 tahun,
4 bulan upah.
·
Masa kerja 4 - 5 tahun,
5 bulan upah.
·
Masa kerja 5 - 6 tahun,
6 bulan upah.
·
Masa kerja 6 - 7 tahun,
7 bulan upah.
·
Masa kerja 7 – 8 tahun,
8 bulan upah.
·
Masa kerja 8 tahun atau lebih,
9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa
kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
·
Masa
Kerja UPMK
·
Masa kerja 3 - 6 tahun
2 bulan upah.
·
Masa kerja 6 - 9 tahun
3 bulan upah.
·
Masa kerja 9 - 12 tahun
4 bulan upah.
·
Masa kerja 12 - 15 tahun
5 bulan upah.
·
Masa kerja 15 - 18 tahun
6 bulan upah.
·
Masa kerja 18 - 21 tahun
7 bulan upah.
·
Masa kerja 21 - 24 tahun
8 bulan upah.
·
Masa kerja 24 tahun lebih
10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH)
meliputi :
·
Cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur.
·
Biaya atau ongkos pulang untuk
karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
·
Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
·
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
CONTOH KASUS
PHK PADA PERUSAHAAN DI INDONESIA
STUDI KASUS PHK PADA PT. SECURICOR
Berawal
pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4
Flack dengan Securicor International di tingkat internasional.
Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para
karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor
Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan
status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan
tetapi, pertemuan tersebut tidak
menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang
semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT
Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai
terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih
ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena
alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang
memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada
tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan.
Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari
P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus
terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor
dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger
dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu
pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT.
Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja
kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai
akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan
ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor
Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak
perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili
oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga
permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian
dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam
putusannya dimenangkan.
v Penyebab Perusahaan Melakukan PHK
Kasus PHK
PT Securicor berawal karena ketidak jelasan status para pekerja akibat
adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong
karyawan PT. Securicor untuk melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan
instansi yang terkait sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang
merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah
bekerja puluhan tahun dan menggantungkan nasibnya pada
PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban pemutusan hubungan kerja
(PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah ditemukan pada fakta P4P, PHK
yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes
fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas
penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan
tidak adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan
karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya
untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan (238
orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk
memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih tidak terjadinya
proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK
yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak.
Jika kita
telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidak mampuan
manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya.
Sebelum melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah melakukan proses penilaian
dengan berpatok pada prinsip procedural justice, dimana dengan
metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan meghasilkan sebuah keputusan
yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas jelas belum mampu
memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat meja hijau
dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor
member kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk
kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan
para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa
para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan
kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat
secara tertulis untuk minta di PHK. Di sini sangat terlihat tidak adanya procedural
justice sebagai prosedur yang menjunjung keadilan.
Selanjutnya,
masalah PHK ini kemudian juga menyentuh dimensi interactional justice. Hal
tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang
dilakukan oleh karyawan PT. Securicor. Mengembangkan aspek dari kejujuran
prosedural yang menjustifikasi keputusan dijalankan perusahaan. Selain itu,
perusahaan juga dinilai karyawan tidak menjunjung social sensitivity akibat
adanya PHK tersebut, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration)
sebelum pengambilan keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga
mengesampingkan empathy terhadap karyawannya yang dalam hal
ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan tahun.
v Akibat dari phk tersebut
Dari studi
kasus di atas, dapat kita analisa bahwa jika di lihat dari sisi perusahaan,
yang tidak memberikan kejelasan status kepada karyawan dan PHK yang
dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes
fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas
penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan
tidak adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan
karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya
untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan (238
orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk
memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih tidak terjadinya
proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK
yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak. Ini menyebabkan Perusahaan
harus membayar pesangon kepada karywan yang telah di PHK secara sepihak
tersebut, karena perusahaan kalah banding sehingga harus memenuhi beberapa
syarat tuntutan.
Jika
perusahaan benar melakukan mager dengan perusahaan lain, maka di harapkan
tingkat produksi akan meningkat sehingga dpat meningkatkan pendapatan serta
pemasukan dari biaya yang di keluarkan untuk membayar pesangon karyawan. Dan
apabila perusahaan tetap mempekerjakan karyawan maka perusahaan tidak perlu
untuk menutup pengeluaran tersebut. Dengan banyaknya karyawan dapat membantu
perusahaan untuk meningkatkan produksinya sehingga pendapatan yang didapatkan
akan lebih besar.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pemutusan
Hubungan kerja sebagai
manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih
merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang
masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan
investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar,
walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara
lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan
Hubungan kerja pada
karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh
perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi
yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi,
maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus
dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga Pemutusan
Hubungan kerja masih
belum dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih
belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus
digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus
diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
3.2
SARAN
Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah,
hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Flippo,
E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGrawHill International Book Company.
2. Manulang,
S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
3. Kumara, A.,
Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri, Balai Pustaka,
Jakarta.
Komentar
Posting Komentar